MyLife

Indahnya Kehidupan

Pembelajaran Pendidikan Agama Yang Membentuk Kepribadian
Monday, 23 March 2009 01:29 Suhartono, S.Pd. Kepala Sekretariat
E-mail Print PDF

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 dinyatakan bahwa “Negara berdasar pada Ketuhanan Yang maha Esa.” Pasal ini menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia didasarkan pada adanya konsep ketuhanan. Konsep yang menandaskan bahwa seluruh aktivitas Negara tidak akan keluar dari pemahaman terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam tataran yang lebih derivatif, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pasal 3 dinyatakan bahwa “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam pasal tersebut setidaknya jelas terungkap bahwa fungsi pendidikan nasional diadakan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi pencerdasan kehidupan bangsa dilaksanakan melalui pengembangan kemampuan peserta didik dan pembentukan watak. Bila dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional tersebut, watak yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1.

Manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2.

Manusia Indonesia yang berakhlak mulia
3.

Manusia Indonesia yang sehat
4.

Manusia Indonesia yang berilmu
5.

Manusia Indonesia yang cakap
6.

Manusia Indonesia yang kreatif
7.

Manusia Indonesia yang mandiri
8.

Manusia Indonesia yang demokratis, dan
9.

Manusia Indonesia yang bertanggung jawab

Pembentukan watak atau kepribadian untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dilaksanakan melalui apa yang dinamakan satuan pendidikan yang meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal. Seluruhnya diperlukan sinergis antara jenis pendidikan tersebut dengan berbagai elemen stakeholder pendidikan agar berhasil pendidikan nasional yang diharapkan. Misalnya, bagaimana keluarga dan lingkungan memainkan peran pokok dalam pendidikan watak putra-putrinya sehingga mampu tampil sebagai peserta didik yang berkembang potensinya secara positif. Pendidikan nonformal pada masyarakat juga demikian, bagaimana masyarakat menjadi laboratorium hidup bagi penerapan potensi peserta didik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Yang tak kalah strategis juga adalah bagaimana pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi memberikan kontribusi nyata dan prospek terhadap kemampuan peserta didiknya menjawab tantangan masa depan dengan basis watak diri yang positif menurut undang-undang di atas.

Peserta didik yang barhasil dalam menempuh jenjang pendidikannya bukan semata ditentukan dengan kepemilikan intelektualitas tertentu. Namun, yang jauh lebih penting adalah kepemilikan watak atau kepribadian yang kokoh. Bukankah pendidikan itu secara esensinya adalah membentuk manusia IndonesiaPandai adalah salah satu pilar dari karateristik tersebut yakni berilmu. Sementara 8 karakteristik lain memerlukan aspek-aspek penilaian pendidikan yang berintegrasi antara kognitif, afektif, dan psikomotor. seutuhnya ? Jadi bukan sekadar pandai namun berwatak sembilan karakteristik menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.

Salah satu bentuk dari satuan pendidikan formal adalah sekolah. Sekolah merupakan institusi yang sangat penting dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Bagaimana kesanggupan sekolah melaksanakan perannya ini sangat bergantung pada idealisme pendidikan para pemangku kepentingan (stakeholder) yang ada di dalamnya. Kepala sekolah adalah sosok vital dalam memimpin sekolah menjadi skeolah yang efektik dan bermutu. Sejauh mana peran ini dilaksanakan. Para guru sebagai tenaga pendidik sejauhmana melaksanakan tugas-tugasnya dalam membekali peserta didik. Begitu juga dengan komponen lain seperti orang tua murid, komite sekolah, tenaga nonkependidikan, masyarakat sekitar, dan komponen siswa itu sendiri.

Tentu saja, untuk membahas peran stakholder pendidikan dalam membentuk watak atau kepribadian peserta didik amatlah luas. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibatasi penulisannya pada peran pembelajaran pendidikan Agama dalam membentuk watak peserta didik.

Kasus-kasus Penyimpangan Perilaku Peserta Didik

Ada begitu banyak penyimpangan perilaku yang dilakukan peserta didik dewasa ini. Penyimpangan perilaku ini sudah mengarah pada tindak kriminalitas jika tidak segera diantisipasi oleh semua pihak. Tindakan aborsi sebagai akibat pergaulan yang tanpa batas pada data Sabili, Maret 2000, data dari Perkumpulan Keluarga Besar Indonesia, dalam 2 tahun terakhir wanita aborsi 2 juta, di antaranya 750 ribu adalah remaja yang belum nikah. Terkait narkoba, 1-2 % orang Indonesia adalah pengguna narkoba (Republika, 25/10-99), tiap bulan sekitar 4.000 pasien baru masuk ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat (Republika, 22-9-99). Bahkan terakhir pada Maret 2007 dalam salah satu berita di stasiun televisi nasional di sebuah SMA di Jakarta, Kepala Sekolah mengadakan razia. Diketahui bahwa ada 4 siswa yang tengah hamil. Na’udzubillah.

Pada sisi lain, tindakan-tindakan yang ringan yang juga bagian dari ketidakpatutan dilakukan oleh peserta didik seperti mencontek, membolos, tidak mengerjakan tugas atau latihan, tidak menghormati guru, atau tindakan lainnya. Tindakan-tindakan tersebut sebenarnya merupakan bagian yang harus diperbaiki mengingat watak terbentuk dari pemahaman dan penyikapan terhadap hal-hal yang baik atau yang buruk untuk persiapannya menjalani kehidupan pada masa mendatang.

Ancaman Budaya Pop Remaja

Pada masa kini ada begitu banyak ancaman yang menghantui para pelajar yang notabene adalah remaja. Sayangnya tidak sedikit remaja yang tidak menyadari dibalik keterlibatan mereka dalam budaya pop remaja. Ancaman budaya pop remaja itu seperti disebutkan O. Sholihin dalam Jangan Jadi Bebek Budaya Pop Remaja itu meliputi : 1) jangan tertipu gemerlap valentine day’s, 2) playstation-mania, 3) ketika musik gaya hidup, 4) remaja mengintip pornografi, 5) kekerasan ala smack down, 6) striptease gaya pall mall, 7) “Shincan” lucu atau porno. Bahkan beberapa perilaku yang sedang gandrung dilakukan di kalangan pelajar seperti : 1) menikmati narkoba, 2) “generasi” preman, 3) balada kembang jalanan yakni menjadi wanita pekerja seks, 4) aborsi : akibat bebas gaul yang telah menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan, 5) AIDS dan kehidupan seks, remaja, 6) pacaran dengan bergandeng tangan anak-anak mahasiswa, siswa SMA, hingga SMP, dan 7) generasi remaja handphone yang makin memanjakan penggunanya.

Peran Guru dalam Pembelajaran Agama

Pembelajaran Agama adalah salah satu kelompok mata pelajaran yang wajib diberikan. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Dengan melihat tujuan pembelajaran agama tersebut, tampak jelaslah bagaimana seharusnya pembelajaran agama ini berperan. Memang tugas membentuk peserta didik tersebut bukan sekadar tanggung jawab guru agama di sekolah, melainkan seluruh guru memiliki peran yang sama pentingnya. Namun demikian, melalui pembelajaran agamalah yang lebih dekat dan mempunyai peran yang strategis.

Jika ditelusuri lebih dalam, setiap peserta didik sebenarnya telah memperoleh pembelajaran agama sejak duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan hingga Perguruan Tinggi ada mata kuliah dasar umum berupa pendidikan agama. Akan tetapi, dampak atau pengaruh dari pembelajaran agama ini belum mampu menumbuhkan imunitas para peserta didik menghadapi tantangan dan ancaman yang ada. Bagaimana agar melalui pembelajaran agama tumbuh watak peserta didik sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) sehingga mampu melahirkan peserta didik yang imun atau kebal terhadap berbagai kemungkinan melakukan tindakan destruktif?

Pembelajaran dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning

Sering kali para guru agama mengeluhkan kurangnya jam agama dalam menyelesaikan materi kurikulum yang ditentukan. Yang terjadi kemudian adalah pembelajaran agama berusaha untuk menyuguhkan materi pembelajaran agar tuntas materinya sehingga tampak suguhan kognitif jauh lebih banyak mewarnai KBM agama. Mereka kemudian menginginkan penambahan jam pembelajaran agar lebih leluasa menyampaikan materi.

Sebenarnya seberapa banyak pun jam pembelajaran agama ditambah tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada jika tidak dilakukan revitalisasi pembelajaran agama. Pembelajaran agama memerlukan suatu terobosan pendekatan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang mempu menumbuhkan kebermaknaan dan menyenangkan. Bukan yang selama ini dilekatkan atribut pada pembelajaran agama : menjenuhkan dan tidak inovatif.

Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa seorang pembelajara, peserta didik, akan mau dan mampu menyerap materi pelajaran jika mereka dapat menangkap makna dari pelajaran tersebut. Dalam buku Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna karya Elaine B. Jhonson yang diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan, disebutkan bahwa ” CTL adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem pelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.” (2006: 58)

Para guru agama perlu memahami filosofi CTL ini dan menerapkannya dalam KBM di kelas agar agama tidak menjadi pelajaran ”menghafal” ”dogmatis” tanpa bersentuhan dengan konteks kehidupan siswa dan kebermaknaannya. Dalam pelajaran agama, anak memperoleh pengetahuan bahwa Allah SWT mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk menjadikan kehidupannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Inilah tujuan penciptaan kehadiran manusia di dunia. Apakah tujuan ini dimaknai secara benar oleh siswa? Atau sekadar menghafal ayat bahwa hal itu ditemui dalam Al Quran Surat Adzariyat : 56?.

Para guru agama –dalam penerapan CTL- diharuskan menghadirkan konteks pembelajaran, bukan sekadar isi pelajaran. Isi pelajaran merupakan sesuatu yang akan diperlajari berupa pengetahuan yang hampir tanpa batas dan semua guru agama mengetahui akan hal ini. Isi agar bermakna harus dipelajari dalam konteks. Adapun konteks dalam pemahaman CTL meliputi :

1. Lingkungan yaitu dunia luar yang dikomunikasikan melalui pancaindera

2. Kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan waktu

3. Asumsi-asumsi bawah sadar yang diserap selama siswa tumbuh, dari keyakinan yang dipegang kuat siswa yang diperoleh melalui nilai-nilai yang diterimanya

Pembelajaran isi agama agar relevan hendaknya memperhatikan keselarasan konteksnya. Ketika guru menyampaikan materi tentang beriman kepada Allah SWT, guru hendaknya mengajak siswa pada peristiwa kehidupan yang dapat diungkap oleh siswa, kejadian-kejadian yang menimpa manusia yang tidak beriman, dan kesadaran terhadap firman Allah yang ditulis dalam kitab suci-Nya. Jadi, guru tidak secara dogmatis menyampaikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk beriman kepada Allah SWT. Adanya kesadaran setiap siswa untuk selalu beriman kepada Allah SWT hendaknya muncul dari siswa melalui serangkaian pengalaman belajarnya di kelas atau di luar kelas. Dengan begitu Insya Allah akan muncul kesadaran bahwa Allah mengawasinya, Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap perbuatannya, dan seterusnya.

Agar guru selalu memelihara KBM-nya dalam genggaman CTL, guru perlu memastikan 8 prinsip CTL hadir dalam setiap KBM-nya, sebagaimana diungkap Elaine (2006: 65-66):

1. membuat ketrkaitan-keterkaitan yang bermakna

2. melakukan pekerjaan yang berarti

3. melakukan pembelajaran yang diatur sendiri

4. bekerja sama

5. berpikir kritis dan kreatif

6. membantu individu untuk tumbuh dan berkembang

7. mencapai standar yang tinggi

8. menggunakan penilaian yang autentik

Jika hal tersebut dilakukan, pembelajaran akan menjadi ”mengalir” dan bermakna. Nilai-nilai agama akan menjadi kebutuhan bukan kewajiban atau pemaksaan.

Dalam hal penyiasatan materi yang sedemikian banyak dengan jatah waktu yang 2 jam sepekan, guru dapat secara kreatif memanfaatkan sarana-sarana kegiatan sekolah termasuk kegiatan mata pelajaran lainnya sebagaimana terlihat dalam tabel 1. Dalam tabel 1 ditampilkan satu contoh kompetensi dasar mata ajar agama kelas X jenjang SMA sebagai berikut :

Tabel 1. Contoh Pengaitan Pelajaran Agama dengan Kegiatan Lain

Standar Kompetensi


Kompetensi Dasar


Pengaitan dengan Kegiatan lain


Instrumen Penilaian

Membiasakan perilaku terpuji


Menjelaskan pengertian adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan atau menerima tamu


Kegiatan Siswa di rumah

Kegiatan siswa sebagai tamu

Kegiatan siswa dalam penerapan tata tertib sekolah

Kegiatan siswa saat perjalanan (mis. Karyawisata, berangkat ke sekolah, menuju temoat kursus dll)


Tugas individu

Tugas berkelompok

Dengan bentuk instrumen : uaraian bebas




Menampilkan contoh-contoh adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan atau menerima tamu


Tugas individu

Bentuk instrumen : lembar pengamatan antarsiswa dan lembar pengamatan guru

Salah satu hal penting pula yang dapat dimanfaatkan guru sebagai bentuk penerapan nilai-nilai pembelajaran agama yang dapat membentuk watak siswa adalah penggunaan wadah organisasi kerohanian yang ada di sekolah seperti rohani Islam. Penggunaan bukan sekadar konvensional yang selama ini berjalan yakni ada kegiatan keagamaan dalam bentuk syiar-syiar semata. Yang diperlukan adalah adanya pemikiran untuk selalu mengaktifkan kegiatan secara rutin pembinaan akhlak dan ibadah siswa baik atas nama kerohanian di sekolah maupun sekolah itu sendiri. Ini adalah penerapan CTL yakni siswa dilibatkan dalam agen perubah baik untuk dirinya maupun untuk kawan-kawannya.

Guru agama melakukan pengontrolan terhadap pencapaian aktivitas pembinaan secara rutin tersebut karena ”Allah SWT tidak akan mengubah suatu kaum, jika kaum tersebut tidak mau mengubahnya.” Pengontrolan untuk mengecek sejauhmana kompetensi dasar pendidikan agama tercapai dan sejauh mana watak peserta didik mengalami perbaikan atau kemajuan.

Ikhtiar

Sekali lagi, tanggung jawab pembentukan watak bukan semata urusan pembelajaran agama di sekolah. Ia merupakan tanggung jawab bersama. Guru agama dapat menjadi motor penggeraknya. Sekolah menjadi laboratorium persemaian tumbuhnya watak secara egaliter, dan siswa sebagai pelakunya. Semua digerakkan secara bermakna dan mengasyikkan. Semua aktivitas tersebut merupakan bentuk ikhtiar bersama. Semoga dengan begitu, pembelajaran agama tampil sebagai pembelajaran yang mampu berkontribusi kuat dalam melahirkan peserta didik yang berwatak sesuai dengan amanah UU SPN.

0 komentar:

Posting Komentar